Sunday, October 29, 2006

ITIKAF BERSAMA SEORANG TEMAN DARI FILIPINA

Ada yang berbeda dalam (belajar) itikaf ramadhan ini. Oya, sengaja saya tambahkan kata di dalam kurung karena terlalu sering bolak balik ke rumah pas itikaf. Maklum lah, aktifis amatiran. Ok kita sambung, yang berbeda kali ini adalah kehadiran seorang ikhwah asal filipina.

Saya dikenalkan oleh seorang teman kepadanya. In English of course, tapi ya begitu deh. Ternyata membaca/mendengar dan berbicara adalah dua skill yang berbeda. Semua perkataannya saya mengerti, tapi pas giliran saya harus ngomong eh…patah-patah. Bae lah, im proud to be sundanese *chauvinisme nih ye*

Saya berasumsi bahwa dia adalah seorang mualaf. Biasa, efek perang media, di otak saya cuma kepikiran bahwa mayoritas muslim itu kalo ngga melayu ya arab. Tapi ternyata bukan, because he was born as a muslim at mindanao, one of the biggest island there *cieh jadi bule gini ngomongnya*

I'm not a Filipino but Moro

Ya, dia tidak mau disebut sebagai bangsa filipina karena katanya, filipina berarti hamba dari king philip (raja mereka saat dijajah). Padahal katanya, as a muslim we're slaves of Allah, alias hamba Allah. Dan Moro? Moro adalah julukan bagi muslim di filipina, yang mayoritas bertempat tinggal di pulau Mindanao. Moro, berasal dari kata Morocco karena dahulu para penjajah menganggap Muslim itu ya dari Maroko.

Katanya, perlakuan negatif pemerintah Filipina terhadap muslim disana sangat kentara. Bila melamar kerja, mereka yang muslim selalu dinomor sekian-kan. Akibatnya tingkat kemakmuran kelaurga muslim disana cukup memprihatinkan. Belum lagi tekanan pemerintah Filipina terhadap saudara-saudara kita yang tidak rela agamanya dilecehkan.

Gerilyawan Moro selalu dianggap teroris, dan kalo kita (bangsa indonesia) baca di koran. Pasti terpengaruh media bahwa gerilyawan itu adalah kumpulan pembunuh berdarah dingin. Padahal mereka adalah ikhwah kita, saudara seiman yang tidak rela aqidahnya tertindas. Inilah efek perang media, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.

Obrolan kami berlanjut. Ternyata teman kita yang satu ini sudah dua tahun di Indonesia. Bukan untuk bekerja, tapi kuliah. Dan tebak dia kuliah dimana? Kedokteran, bukan. Teknik, bukan juga. Ternyata dia kuliah di LIPIA (Lembaga Pendidikan Indonesia Arab) fakultas syariah, wow subhanallah mantap! Dan dia dikirim ke sini bersama dua orang temannya, salah satunya hafidz/hafal Al Quran semenjak kelas 2 SMU. Lagi-lagi subhanallah!

Gimana ngga mantap, LIPIA ini berada di bawah pembinaan langsung Univ.Ibnu Saud dari Arab Saudi. Boleh dibilang, untuk mencetak da'i berkualitas, universitas ini adalah yang terbaik di Indonesia. Tes masuknya sangat ketat, harus bisa bahasa arab dan hafal Al Quran sekian juz. Biasanya lulusannya bergelar Lc (Licenced) setara dengan alumnus timur tengah. Dosen-dosennya native, dan walaupun lokal biasanya Doktor lulusan timur tengah.

Sampai-sampai ada sebuah anekdot bahwa LIPIA itu adalah singkatan dari Lembaga Ikhwan Pujaan Ibu dan Akhwat. Istilahnya, mana ada sih yang mau nolak kalo lulusan LIPIA udah ngelamar seorang akhwat hehehe....

Afwan, kita sambung lagi ceritanya. Teman kita ini bisa sekolah di Indonesia karena ada seorang da'i senior yang melihat potensinya. Setelah lulus, impian teman kita ini adalah kembali ke negerinya untuk berdakwah disana. Karena katanya, anda harusnya bersyukur karena di Indonesia ada begitu banyak da'i. Tapi kami, walaupun dilahirkan sebagai muslim, sangat banyak yang tidak mengenal apa itu Islam. Da'i disana amat sedikit.

Hmm..jadi kepikiran kata seorang ustadz
Jihad, jihad, kita mah untuk ngaji hari ahad aja berdalihnya minta ampun!

2 comments:

ichich said...

shout box?
humm...pengennya sih, tapi aku tak tahu caranya...hehehehe... biasa wanita gagap teknologi....
sibuk?
yah, masih kalah deh sibuknya sama agah,hehehe...
saya sih cuma sibuk kuliah aj yang semakin membabi buta...
kayanya dosen2 udah pgn ngbunuh saya...hiks....

Anonymous said...

kita memang harus bersyukur jadi muslim di indonesia, meski cuma cap ktp thok, soalnya jaminan kebebasan menjalankan ibadah banyak, trus gak pake diskriminasi soal agama (ah masa?)
waduh sibuk ya kok tulisannya belum ada lagi?