Sunday, August 27, 2006

DALIH OH DALIH, BUAT AKTIFIS YANG HOBI TELAT

Afwan ana telat 30 menit, mulai duluan aja rapatnya
Bukan aktifis kalo datengnya tepat waktu, sebuah asumsi yang kudapat dari pengalaman berorganisasi selama ini. Pernah suatu ketika dalam sebuah seminar pengembangan diri, pembicara mengatakan “Dalam hidup, kita hanya bisa memilih satu diantara dua hal. Yang pertama adalah sukses, yang kedua adalah dalih. Jika anda ingin sukses, maka lupakanlah dalih. Dan jika anda memilih untuk banyak berdalih, maka lupakanlah kesuksesan”

Hal ini cukup membuatku merenung. Betapa tersindirnya hati ini pada saat itu. Karena aku, dan semua orang pastilah ingin sukses namun dalam perjalanannya ternyata begitu banyak dalih yang kita kemukakan. Dan sindrom banyak berdalih ini ternyata tidak hanya menimpa para orang dewasa, karena remaja pun tidak luput dari sindrom ini.

Sukses bisa memiliki banyak definisi, bila kita seorang pelajar maka kesuksesan kita diukur dari nilai akademis. Jika kita seorang muslim maka kesuksesan kita diukur dari kualitas dan kuantitas ibadah kita. Bila kita adalah seorang anak maka kesuksesan kita diukur dari tingkat keberbaktian kita kepada orangtua. Dan bila kita seorang aktifis, maka sukses adalah tercapainya tujuan kolektif dari organisasi kita.

Nah ternyata, penyebab kita sering berdalih ialah anggapan bahwa semua yang terjadi BUKAN karena kesalahan kita, namun kesalahan hal-hal DILUAR diri kita. Mari kita perhatikan ilustrasi berikut, kita jadikan 'ikhwan' sebagai korban hehehe...

Saat Ikhwan masih bayi dan belajar merangkak, tentunya pernah terjatuh. Nah, suatu hari saat sedang merangkak ternyata Ikhwan jatuh dan kepalanya terbentur kursi. Ikhwan pun menangis, ibunya tergopoh-gopoh mendekat sambil meredakan tangis Ikhwan. Lalu sang ibu mengatakan ”sayang...ga apa-apa kok. Kursinya nakal ya?” (Baca : yang salah itu kursi, bukan Ikhwan)

Saat duduk di bangku sekolah, prestasi Ikhwan biasa-biasa saja. Ketika ditanya penyebabnya maka Ikhwan menjawab “Habis gurunya kurang jelas sih ngajarnya” (Baca : yang salah itu guru, bukan Ikhwan). Harusnya Ikhwan bertanya pada dirinya, mengapa aku tidak belajar mandiri? Atau minta diajari oleh teman yang dianggap pintar? Atau ikut les privat?

Suatu hari Ikhwan terlambat datang ke sekolah, oleh guru piket ditanya alasannya. Ikhwan menjawab “Habis lalulintas macet dan angkotnya ngetem pak” (Baca : yang salah itu kemacetan dan sopir angkot, bukan Ikhwan). Padahal seharusnya setelah beberapa waktu bersekolah, seharusnya Ikhwan sudah hafal jadwal kemacetan. Dan begitulah, terus berulang. Hingga (mungkin) saat ini.

Ah jadi malu saya juga...soalnya saya juga ikhwan

Saturday, August 19, 2006

DUAPULUH MENIT BERSAMA USTADZ DRUMMER

Subhanallah wabihamdih, subhanallahil azhim...

Serasa baru kemarin pesantren yang kami adakan berakhir. Sebagai panitia, begitu banyak kesan yang membekas dihati. Mungkin bukan dari sisi keilmuan, karena sebagai panitia tugas kami lebih banyak diluar kelas. Namun kebersamaan antar sesama panitia yang begitu tulus dan tanpa pamrihlah yang masih kukenang hingga tulisan ini dibuat.

Pesantren yang kami adakan diisi oleh beberapa ustadz baik dari Bandung maupun luarkota. Mereka semua insyaAllah merupakan pemateri yang kredibel di bidangnya. Namun ada seorang ustadz yang memberi pengalaman tersendiri dalam diri ini.

Ustadz Alfi namanya, sebelum menjadi ustadz konon kabarnya beliau adalah seorang drummer terbaik se-Jawa Bali. Namun kini –subhanallah- atas hidayah dari Allah, beliau mewakafkan dirinya untuk menjadi agen pencerahan agar umat tidak bergelimang kemaksiatan.

Suatu malam, beliau mendapat giliran untuk menjadi pemateri. Tema yang beliau sampaikan adalah mengenai dzikir. Sebuah amalan yang tidak memerlukan banyak energi, dan tidak menghabiskan banyak waktu. Namun, ganjarannya justru sangat besar disisi Allah SWT. Karena sudah pernah mendapatkan materi serupa, aku masih tidak begitu tersentuh hingga akhir materi selesai disampaikan. Dan setelah materi itu, peserta dan panitia pun menjalankan agenda rutin yaitu tidur malam.

Selepas shalat shubuh, beliau ternyata meminta panitia untuk mengantarkannya ke stasiun kereta api. Katanya, beliau mendadak dipanggil ke Jakarta untuk bertemu dengan perwakilan sebuah LSM dakwah internasional. Dan akupun menyanggupi untuk mengantarnya dengan pemikiran kapan lagi aku bisa ngobrol personal dengan seorang ustadz kalo bukan pada momen ini.

Mobil dipanaskan dan beberapa menit kemudian mulai melaju. Perjalanan kuestimasi akan memakan waktu sekitar 20 menit. Maka di perjalanan akupun bertanya berbagai hal terutama mengenai aktifitas beliau sebagai seorang ustadz. Obrolan berjalan lancar disertai beberapa jeda bicara.

Dan sahabat sekalian, ada satu momen yang membuat perjalanan 20 menitku menjadi begitu berkesan. Momen itu adalah saat jeda bicara. Biasanya, bila kita mengobrol dengan seseorang akan ada jeda dimana kedua belah pihak sibuk memikirkan apa lagi topik yang akan dibicarakan. Namun beliau tidak, karena jeda tersebut selalu diiringi dengan suara lirih berbunyi istigfar, tasbih, dan kalimat-kalimat dzikir lainnya. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia. Inilah yang membedakan antara waktu luang orang-orang shalih dengan orang awam seperti kita.

Maka seketika akupun teringat akan materi yang beliau sampaikan tadi malam...

Rasulullah SAW bersabda : Ada dua kalimat yang ringan diucapkan dengan lisan, namun memberatkan timbangan kebaikan pada hari kiamat dan amat dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih. Kalimat itu adalah Subhanallah Wabihamdih, Subhanallahil Azhim (Maha Suci Allah dan segala puji bagiNya, Maha Suci Allah lagi Maha Agung)
-HR Bukhari Muslim-

Wednesday, August 16, 2006

PAK UMAR, JOMBLO EH JOMPO KEREN!

Ash Shalaatu Khairum Minan Nauu..mm Jika sahabat kebetulan terbangun disubuh hari, cobalah untuk mulai sekali-kali shalat berjama’ah di masjid. Dan perhatikan tamu-tamu yang memenuhi undangan Allah untuk menghadiri pertemuan yang agung denganNya. Niscaya didalam istana bernama masjid itu, kita akan mendapati banyak tubuh-tubuh ringkih termakan usia. Dan barulah kita sadar bahwa masjid telah berubah menjadi panti jompo.

Dari sekian bapak-bapak, ada satu orang yang cukup menarik perhatianku. Menurut orang-orang sih namanya pak Umar. Kutaksir usianya sekitar 80 tahunan. Giginya tinggal beberapa, tubuhnya mulai bungkuk, tarikan nafasnya sudah memberat, dan langkahnya terlihat lambat. Namun, hal tersebut justru semakin menambah kekagumanku pada beliau. Setahuku, shalat shubuh berjama’ah di masjid tak pernah beliau tinggalkan. Lengkap dengan shalat sunnah fajarnya.

Kalaupun absen, biasanya itu disebabkan beliau sedang berada di rumah anaknya yang diluar kota karena istrinya sudah meninggal. Padahal, jarak rumahnya ke masjid lebih jauh daripada jarak rumahku. Aku saja yang rumahnya dekat sering ketinggalan rakaat pertama karena sering menunda-nunda beranjak dari tempat tidur.

Pernah aku mengobrol ringan dengan beliau. Satu hal yang paling kusuka adalah saat beliau tertawa, lucu melihat giginya yang tinggal beberapa. Dari perkenalan kami selama ini, aku semakin yakin bahwa beliau adalah seseorang yang luar biasa. Seorang ringkih bersemangat baja. Katanya, beliau biasa bangun jauh sebelum adzan shubuh dan shalat malam sedapatnya. Lalu jika kuamati apabila beliau sedang membaca Al Quran di masjid, nafasnya justru panjang. Sehingga ayat yang dibaca berhenti tepat pada tempatnya.

Dan hebatnya lagi diantara bapak-bapak yang lain, beliau adalah satu-satunya yang tidak berkacamata. Subhanallah. Malu, malu rasanya setiap kali melihat beliau. Aku yang masih muda justru kalah oleh semangat seorang kakek dalam menjemput cintaNya. Tak terbayang, bagaimana kedudukannya di akhirat kelak. Mungkin langkahnya yang lambat sekarang, justru akan membuatnya melesat di hari penghisaban kelak.

Relakah kita ikut ambil bagian dalam berubahnya masjid menjadi panti jompo?

Rasulullah SAW bersabda : Shalat berjamaah dilipatgandakan duapuluh lima/duapuluh tujuh kali dari sholat sendiri di rumah atau di pasar. Yang demikian itu karena jika seseorang menyempurnakan wudhu kemudian keluar menuju masjid, tiada ia melangkahkan kaki melainkan diangkat satu derajat dan dihapus satu dosanya. Dan bila ia shalat, malaikat senantiasa mendoakannya Allahumma Sholli ‘alaihi Allahummarhamhu (Ya Allah berilah hambamu ini kebaikan dan rahmat) selama di tempat sholat itu ia tidak berhadas
-HR Muslim-

Friday, August 04, 2006

SEDEKAH KITA BERKAH? NTAR DULU

Kasihan om, buat bayar sekolah om...

Seorang anak dengan baju lusuh mengulurkan tangan kepadaku. Dalam genggamannya terselip selembar fotokopian kertas SPP. Meski iba, namun aku memutuskan untuk tidak memberinya. Uang memang ada, namun sikap ini insyaAllah kuyakini sebagai yang terbaik. Pasalnya anak-anak tersebut pernah kudapati meminta kepada tukang fotokopi untuk meng-edit SPPnya tidak jauh dari tempat mereka ’beroperasi’. Akhirnya bukan uang yang mereka dapatkan, namun hanya seulas senyum penolakan dariku.

Seorang ulama di Bandung pernah menceritakan kisah sebagai berikut. Pernah dalam sebuah angkutan umum ada seorang anak meminta-minta kepada para penumpang. Namun hanya beberapa orang yang memberinya uang.

Saat angkot melaju, seorang ibu berkomentar ”anak-anak kayak gitu mah jangan dikasih, ngga ngedidik !”.

Dalam hatinya, sang ulama bergumam ”Ah bu, memang kapan kita ada waktu buat ngedidik mereka ?”

Dari dua ilustrasi diatas, ada benang merah yang dapat kita ambil. Bahwa memang betul kita sebagai seorang muslim dianjurkan untuk bersikap dermawan. Namun, tentu saja sikap tersebut pun harus proporsional. Tidak terlampau membelenggu tangan kita karena kikir, serta tidak pula terlampau mengulurkannya. Mengenai kekikiran, sudah terlalu banyak dalil yang mencela sikap tersebut. Namun bagaimana dengan terlampau dermawan

Rasulullah bersabda : Tidaklah seseorang selalu meminta-minta, melainkan nanti ia berhadapan dengan Allah dengan tiada sepotong dagingpun dimukanya.
Dalam riwayat lain beliau SAW bersabda : Barangsiapa yang meminta-minta untuk memperbanyak kekayaannya, maka tiada lain hanya memperbanyak bara api


Artinya bila kita menyedekahkan harta kita pada orang yang salah, maka hal tersebut bukan malah meringankan penderitaannya. Justru kita harus waspada, karena ada andil kita dalam memperberat hisab orang tersebut di akhirat kelak. Naudzubillah...

Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?

Ada seorang teman yang memiliki solusi yang sederhana mengenai masalah ini. Katanya ”Tidak ada istilah berlebihan dalam bersedekah, namun kitapun tidak dapat memeriksa latar belakang mereka (pengemis) satu-persatu. Kapasitas waktu kita terbatas. Jadi, mengapa kita tidak menitipkannya di lembaga yang jelas-jelas memiliki kapabilitas dalam hal tersebut”

Jika timbul pemikiran ”Ah, lokasinya jauh dari rumah/sekolah saya” Maka yakinilah setiap langkah yang kita jejakkan memiliki nilai tersendiri di sisiNya. Makin jauh, makin banyak catatan yang ditulis dalam kitab amal kita. Dengan satu syarat, ikhlas...

Ah...kapan ya kita akan memulainya?

SAYUR KACANG DENGAN BUMBU CINTA

Aa besok mau shaum ngga ?

Begitulah pertanyaan rutin dari ibuku setiap pekan. Rutinitas tersebut sudah berlangsung cukup lama terutama semenjak aku duduk di bangku SMA dulu. Dan jawabanku pun mudah ditebak ngga ah, besok sibuk takut ngga kuat Betul, bahwa aku seharusnya bangga memiliki ibu dengan akhlaq seperti ini.

Namun, ada sebuah momen yang sangat berkesan. Yang membuat diri ini merasa begitu hina karena kemuliaan akhlaq beliau. Hingga linangan air mata pun harus kututupi dari pandangan beliau karena gengsi diri yang begitu tinggi.

Pernah pada suatu waktu ibuku menanyakan hal serupa, dan entah mengapa dirikupun tergerak untuk melaksanakan ibadah shaum senin-kamis tersebut. Dan pertanyaan tersebut pun dijawab dengan kalimat yang berbeda dengan biasanya “InsyaAllah besok Aa shaum”

Pagi dini hari, sekitar jam 3 akupun terjaga. Setelah menyegarkan diri dengan mencuci muka, akupun bergegas turun ke bawah untuk membangunkan ibuku. Pintu kamarpun kubuka, dan beliau nampak sangat nyenyak tidurnya.

Hmm...aku baru sadar keletihan beliau setelah bekerja seharian di kantor pusat sebuah perusahaan telekomunikasi nasional. Aku baru sadar jika kesibukanku selama ini ternyata sama sekali tidak sebanding dengan beliau. Karena selain bekerja beliau pun harus mengurus kami, anak-anaknya terutama adikku yang masih di bangku SD.

Rasa segan menghinggapi hati, namun karena teringat kesepakatan tadi malam akupun membangunkannya dengan hati-hati. Dengan wajah kusut beliau terbangun dan bertanya Hah, jam berapa a? Setelah kujawab, beliau langsung bergegas keluar kamar dan nampak merasa bersalah Aduh a maaf, lauknya ngga ada apa-apa. Dimasakin dulu ya? Tanyanya

Momen tersebut nampak sederhana, namun menimbulkan kesan mendalam pada hatiku.

Bayangkan, dalam kondisi letih dan baru terjaga dari tidurnya yang pertama diingat bukanlah kepentingan diri beliau. Namun yang diingatnya justru KEPENTINGANKU, beliau lebih khawatir jika aku tidak puas dengan menu sahur pagi itu. Maka dengan penuh rasa bersalah, akupun berpura-pura melihat meja makan dan melihat ada sayur kacang sisa tadi malam disana.

Bu, ngga usah masak. Sayur kacang juga udah cukup kok Setelah dipanaskan di dapur, beliaupun menghidangkannya di meja. Akupun mengambil nasi, lalu menyendok sayur tersebut ke piringku. Kumasukkan sesendok nasi dengan sayur kacang tersebut ke dalam mulutku.

Amis dan sedikit asam rasanya.

Namun tak kupedulikan sedikitpun rasa itu. Kumakan dengan lahap menu sahur pagi itu. Karena aku yakin, sayur kacang ini menggunakan bumbu cinta...

Rasulullah SAW pernah bersabda : Sungguh merugi, sungguh merugi dan hina seseorang yang bersama kedua orangtuanya atau bersama salah seorang diantara keduanya hingga lanjut usia, kemudian ia tidak dapat masuk syurga (HR Muslim)
Maka Imam Nawawy menjelaskan bahwa hadits ini seolah-olah menggambarkan betapa mudahnya seseorang memasuki syurga, asalkan ia masih berbakti kepada orangtuanya dan mendapat do’a serta keridhaan orangtua yang merasa puas kepadanya