"Insya Allah saya akan berkunjung ke rumahmu"
Begitulah janjiku padanya saat kami masih sama-sama menjadi pengurus di organisasi dakwah kampus. Sebut saja namanya Arno, dan dari semua rekan sedivisi mungkin hanya dengannya lah saya sering berdebat.
Debat dalam artian adu argumen dengan tempo tinggi, baik itu dalam rapat maupun diskusi empat mata. Karena itulah, saya menyimpan dua perasaan atasnya *deuh* Sebal karena karakter kerasnya, dan senang karena karakter tegasnya.
Dalam kesehariannya Arno adalah seorang mahasiswa yang tekun sehingga secara akademis sangat diatas rata-rata. Ok deh, poin ini bisa jadi jalan dakwah bagi lingkungannya.
Tapi…
Ada satu hal yang menurut saya seharusnya diperbaiki. Yaitu cara berpakaiannya yang terlampau cuek. Bahkan terkadang lusuh dan komposisi warnanya membuat mata cepat lelah.
Saya berpikir, bagaimana mungkin orang lain bisa simpati kalau penampilannya kayak gitu. Karena menurut saya, penampilan adalah salah satu pintu dalam berdakwah. Bukan begitu ?
Alhamdulillah, janji saya untuk mengunjungi rumahnya terlaksana baru beberapa hari yang lalu. Walaupun janji itu sudah sekitar dua tahun saya ikrarkan. Dan ternyata, pada saat itulah pandangan saya terhadapnya berubah drastis.
Hari sudah menjelang gelap saat kami berboncengan motor menuju rumahnya. Awalnya kami memasuki sebuah jalan sempit, hanya muat satu mobil. Perasaan saya masih biasa-biasa. Lalu setelah beberapa belokan, sebuah gang kami masuki. Perasaan saya pun masih biasa saja.
Beberapa rumah kecil berbahan batu bata kami lewati, teruus hingga rumah-rumah yang kami lewati makin sederhana –kalau tidak bisa dibilang kumuh- Dan akhirnya saya disuruhnya menghentikan motor di sebuah tembok yang memiliki pintu dari seng.
Pintu tersebut dibuka *jreng* dan tampak sebuah bedeng disana. Asal tahu, bedeng merupakan sebuah bangunan panjang yang disekat-sekat. Bukan untuk dijadikan kamar, namun justru untuk tempat tinggal.
Ya, disana ada beberapa keluarga perantau yang tinggal di ruangan yang lebih kecil dari kamar pribadi saya. Satu keluarga.
Lalu Arno mengajak saya ke kamar *maaf* rumahnya. Di dalam nampak bapaknya. Saya pun mengobrol ringan dengan beliau. Dari obrolan kami, ternyata beliau adalah seorang pedagang bakso yang rutin mangkal di depan sebuah supermarket.
Subhanallah, penghematan macam apa yang beliau lakukan sehingga anaknya dapat kuliah di sebuah kampus yang tergolong mahal.
Tidak lama berselang, ada suara wanita mengucapkan salam. Saya menoleh, dan ternyata yang datang adalah seorang pedagang jamu. Mungkin baru selesai berkeliling. Nampak letih, namun tetap ersenyum manis.
Tiba-tiba Arno berkata "Gah kenalkan, itu ibu saya" ucapnya mantap
*Sreet* Entah mengapa bukan rasa kasihan yang muncul dalam hati. Walau kini saya tahu kondisi ekonomi mereka. Sebuah rasa bernama kekaguman menyergap. Kagum yang berlipat-lipat. Kagum terhadap spirit luarbiasa dari sepasang orangtua yang sebegitu inginnya agar sang anak mendapatkan pendidikan terbaik.
Saya membayangkan kerja keras macam apa yang beliau berdua lakukan. Saya membayangkan sekuat apa penghematan yang beliau berdua lakukan. Dan Arno tidak menyia-nyiakan pengorbanan itu
Arno, terimakasih...
karena mengizinkan saya menunaikan kunjungan yang tertunda ini
kini saya lebih mengenal, apa artinya bersyukur
Monday, December 25, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
subhanallah... pengorbanan orang tua buat anaknya memang sangat besar ya? makanya jangan sampai mengecewakan kedua orang tua... :)
yaa...
mengagumkan memang...
hiks hiks ... (terharu, red)
Post a Comment